Menggelar Warna Negeri dalam Puisi: Antologi 'Obituari Negeri Pelangi' - Niswa Djupri

Breaking

Jumat, 27 April 2018

Menggelar Warna Negeri dalam Puisi: Antologi 'Obituari Negeri Pelangi'












Dunia sastra Indonesia telah kembali menyaksikan momen yang menginspirasi melalui kelahiran sebuah antologi puisi berjudul 'Obituari Negeri Pelangi'. Karya kolaboratif dari 18 penyair dengan latar belakang yang beragam ini berhasil menghasilkan buku setebal 144 halaman yang tidak hanya menghiasi perpustakaan, tetapi juga memberikan harapan baru bagi perkembangan sastra Indonesia. Yang paling menarik adalah keikutsertaan seorang penyair muda berusia sembilan tahun bernama Ni Nyoman Rianti Adi Saraswati Putri, yang membuktikan bahwa semangat sastra tidak mengenal batas usia.

Terdiri dari penyair-penyair hebat dari berbagai penjuru tanah air, antologi ini menjadi ruang bagi para kreator untuk menyampaikan ide-ide positif dari beragam sudut pandang mereka. Dari Aris Nohara di Temanggung hingga Sudiawan Imam Prakoso Adi di Tulungagung, serta beberapa penyair dari Bali seperti I Ketut Adi Juliantara, Marini, dan Komang Erawati, antologi ini menjadi jembatan nyata yang menghubungkan perbedaan-perbedaan dalam satu harmoni kata.

Antologi ini menawarkan 54 puisi, masing-masing penyair berkontribusi dengan tiga puisi. Seiring dengan judulnya yang penuh makna, 'Obituari Negeri Pelangi' bukan hanya sekadar rangkaian kata, tetapi cerminan nyata tentang keragaman yang ada di Indonesia. Dalam rangkaian puisi, setiap kata membentuk palet warna yang melukiskan keragaman suku, bahasa, agama, dan budaya yang membentuk keunikan Indonesia.

Ketika Niswa Djupri, perwakilan dari Niswaka Publisher, berbicara tentang tujuan antologi ini, dia mengungkapkan keinginan kuat untuk menggambarkan Indonesia sebagai "negeri pelangi yang indah". Melalui puisi, pesan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut pada dasarnya tidaklah menghalangi persatuan dan kebersamaan di dalam keragaman, ingin diungkapkan kepada masyarakat. Setiap puisi membawa daya magisnya sendiri, menciptakan jalan untuk menguatkan rasa persatuan dan cinta pada tanah air.

Melampaui batasan geografis, antologi ini juga menyingkapkan keberagaman dalam aspek sosial, profesi, dan agama. Ini membuktikan bahwa sastra memiliki kekuatan untuk menyatukan dan merangkul segala bentuk perbedaan. Dari seorang guru hingga seorang pelajar berusia sembilan tahun, dari penyair berpengalaman hingga mereka yang masih merintis, semua bersatu dalam melodi puisi.

Penerbitan 'Obituari Negeri Pelangi' tidak hanya sekadar upaya untuk menciptakan sebuah buku, tetapi juga merupakan wujud nyata dari semangat kolaboratif yang bertujuan mengangkat dan memajukan dunia sastra Indonesia. Niswa Djupri menjelaskan bahwa di balik buku ini terdapat semangat para penyair untuk memperkaya dan memperluas horison sastra Indonesia. Tidak hanya sekadar kata-kata di atas halaman, antologi ini mengandung esensi perjuangan dan kepedulian para penyair terhadap perkembangan sastra dan budaya Indonesia.

Seiring dengan langkah maju ini, kita diajak untuk bertanya, "Bagaimana puisi bisa menjadi sarana untuk mempererat persatuan di tengah keragaman? Apa yang bisa kita pelajari dari karya-karya penyair dalam antologi ini tentang keindahan Indonesia yang berwarna-warni?" Mari berbagi pandangan dan pemikiran kita dalam kolom komentar di bawah.

Dalam dunia yang terus berkembang, antologi 'Obituari Negeri Pelangi' adalah langkah yang mengilhami, membawa warna baru ke dalam arena sastra Indonesia, dan mengingatkan kita akan nilai kebersamaan di tengah perbedaan.