New

Niswa Djupri
(Niswatul Ma'rifah, S.Kom., CHt)
Setiap keluarga pasti punya cerita masa kecil yang dianggap lucu. Cerita itu biasanya muncul di momen-momen kebersamaan: saat makan bersama, saat kumpul keluarga, atau ketika ada perayaan tertentu. Tiba-tiba seseorang melempar cerita lama, lalu semua orang tertawa. “Ingat nggak dulu kamu pernah jatuh di depan banyak orang?” atau “Dulu kamu ngompol pas tidur di rumah nenek, terus seisi rumah tahu!”
Bagi yang mendengar, itu terasa sebagai hiburan. Sebagai nostalgia. Sebagai bahan candaan hangat yang membuat suasana cair. Tapi, pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan orang yang sebenarnya menjadi tokoh utama dalam cerita itu? Apakah ia benar-benar ikut tertawa karena senang, atau hanya tersenyum kaku untuk menjaga suasana tetap hangat?
Karena faktanya, tidak semua cerita masa kecil yang dianggap lucu benar-benar lucu bagi si pelaku.
Luka yang Tertinggal di Balik Tawa
Sejak saya belajar tentang hipnoterapi di tahun 2016 lalu, ada banyak hal yang membuka mata saya. Salah satunya adalah menyadari bahwa memori masa kecil bisa membekas kuat dalam pikiran bawah sadar. Apa yang bagi orang lain hanya candaan sepele, bisa saja bagi anak (atau diri kita sendiri) menjadi peristiwa yang menyakitkan, memalukan, atau menakutkan.
Saya teringat, suami saya pun punya cerita serupa. Waktu kecil ada kejadian yang selalu dibahas berulang-ulang oleh keluarganya. Semua orang tertawa, tapi ia hanya diam, sesekali tersenyum tipis. Setelah kami menikah, barulah saya tahu bahwa sebenarnya ia tidak pernah suka kejadian itu diungkit. Ia hanya diam karena tidak ingin merusak suasana.
Adik saya juga pernah mengalaminya. Saya pribadi pun demikian. Bahkan saat belajar di kelas hipnoterapi, beberapa rekan saya bercerita tentang pengalaman yang sama: candaan masa kecil yang terus diulang, padahal dalam hati mereka berharap itu tidak pernah dibahas lagi.
Ternyata, diamnya seseorang sering kali bukan tanda nyaman. Justru sebaliknya, diam bisa menjadi sinyal halus bahwa ada sesuatu yang tidak ingin disentuh.
Pentingnya Peka pada Respon
Inilah yang sering terlewat. Kita terlalu larut dalam tawa, hingga lupa memperhatikan respon orang yang sedang kita jadikan bahan cerita. Padahal, kunci untuk tahu apakah sebuah cerita pantas diulang atau tidak adalah dengan melihat responnya.
💡 Jika ia ikut tertawa lepas, menanggapi dengan ringan, bahkan menambahkan detail ceritanya sendiri, berarti ia memang tidak masalah.
💡 Tapi jika ia hanya tersenyum tipis, mengalihkan pembicaraan, atau memilih diam, itu tanda yang sangat jelas bahwa cerita tersebut tidak nyaman baginya.
Sayangnya, banyak orang yang tidak peka. Kadang kita berpikir, “Ah, dia kan ketawa.” Padahal itu hanya ketawa basa-basi, ketawa terpaksa, atau bahkan senyum yang dipaksakan untuk menjaga perasaan orang lain.
Kenapa Ini Penting?
Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa sih hal kecil begitu saja dipermasalahkan? Bukankah itu hanya masa kecil?”
Justru karena masa kecil adalah fondasi terbentuknya diri seseorang. Apa yang dialami di usia dini bisa memengaruhi cara pandang, rasa percaya diri, bahkan kesehatan psikologis seseorang ketika dewasa.
Coba bayangkan, jika sejak kecil kita merasa malu atau sakit hati karena sebuah peristiwa, lalu peristiwa itu terus diulang-ulang menjadi bahan candaan sampai kita dewasa. Lama-kelamaan rasa itu menumpuk. Tidak semua orang bisa menertawakan dirinya sendiri, terutama ketika perasaan yang muncul saat itu adalah takut, sedih, atau dipermalukan.
Sebagai seseorang yang pernah belajar hipnoterapi, saya belajar bahwa luka-luka kecil seperti ini sering menjadi “benih” masalah psikologis di kemudian hari. Tidak selalu besar, tapi cukup membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri.
Belajar Menjaga Psikologi
Dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: menjaga psikologi orang lain sama pentingnya dengan menjaga perasaan kita sendiri.
Ketika kita ingin membahas sebuah cerita masa kecil, berhentilah sejenak dan amati:✨ Apakah orang itu benar-benar nyaman ketika cerita tersebut dibahas?✨ Apakah ia ikut menanggapi dengan gembira, atau hanya terdiam?✨ Apakah candaan itu sekadar membuat suasana hangat, atau justru bisa melukai hatinya?
Jika tanda-tanda ketidaknyamanan muncul, sudahi. Jangan ulangi lagi. Karena setiap orang berhak memiliki kenangan masa kecil yang aman di hatinya—bukan kenangan yang terus dijadikan bahan candaan hingga membuat luka lama semakin dalam.
Menjadi Keluarga yang Lebih Peka
Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman, bukan sumber rasa malu yang terus diulang. Bayangkan betapa indahnya jika setiap anggota keluarga bisa saling memahami, saling menjaga, dan saling menghargai perasaan masing-masing.
Terkadang, bentuk kasih sayang yang sederhana bukan hanya dengan memberi, bukan hanya dengan membantu, tapi juga dengan tidak membicarakan sesuatu yang membuat orang lain sakit hati.
Tertawa bersama memang menyenangkan. Tapi jangan sampai tawa kita lahir dari luka orang lain.
Penutup
Cerita masa kecil memang indah untuk dikenang, tapi tidak semua kenangan pantas untuk terus diputar ulang. Ada yang bisa ditertawakan, ada yang sebaiknya disimpan.
Mari kita belajar lebih peka. Jika orang lain ikut tertawa, lanjutkan. Tapi jika hanya tersenyum kaku atau diam, sudahi. Jangan ulangi lagi. Karena mungkin, di balik diamnya ada jiwa yang sedang berusaha melindungi diri dari luka lama.
Dan bukankah tugas kita sebagai keluarga adalah menjaga, bukan justru menambah beban?