Motivasi Saya Adalah Mereka - Niswa Djupri

Breaking

Rabu, 18 Mei 2011

Motivasi Saya Adalah Mereka



Sebagai anak seorang pedagang pakaian yang baru saja merintis usaha toko, saya yang waktu itu belum sekolah, selalu diajak ke toko oleh bapak dan emak saya. Toko pakaian milik orangtua saya di dalam lingkup pasar Ploso yang bangunan pasar tersebut adalah bekas bangunan masa penjajahan Belanda. Saat itu, bapak, emak, saya dan adik, masih tinggal di gang Buntu desa Rejoagung kecamatan Ploso Jombang. Masih satu rumah dengan saudara-saudara dan keponakan-keponakan dari saudara-saudara emak saya.

Karena sesuatu hal, kemudian bapak, emak, saya, dan adik, pindah ke rumah orangtua bapak saya. Saya sedikit tidak nyaman karena di rumah mbah saya banyak nyamuk, dekat sungai, dan belakang rumah ada pepohonan bambu.

Waktu menunjukkan pukul empat pagi, udara saat itu sangat dingin, saya terbangun dari pelukan emak saya, lalu menuju dapur yang ala kadarnya, yang kompornya masih dengan bahan bakar kayu dan lantainya masih tanah. Di dapur ada mbah Bardan--kakek-- dan mbah Sampi--nenek-- yang sedang membuat beberapa gorengan untuk dijual oleh mbah Sampi.

Saat mbah Bardan tau kalau saya terbangun, mbah Bardan memasang tikar di lantai dapur, kemudian mbah Bardan mengambilkan saya sebuah bantal dan diletakkan di atas tikar. Mbah Bardan khawatir kalau saya masih mengantuk, saya disuruh tidur lagi. Lima menit saja saya mencoba tidur lagi, nyamuk-nyamuk sudah mengeroyok saya. Saya menyelimuti sekujur tubuh saya, agar nyamuk tidak bisa menempel di badan saya.

Mbah Bardan dan mbah Sampi sayang sekali dengan saya. Sering saya diajak mbah Bardan di beberapa aktivitasnya. Sering kali saya diajak ke belakang rumah. Di belakang rumah ada pepohonan bambu dan dibelakangnya lagi ada sungai yang lebarnya sekitar delapan meter. Mbah Bardan menebang bambu yang ada di belakang kalau mbah Bardan akan membuat perkakas dari bambu, seperti Gedég, kurungan ayam, pagar, dan sebagainya untuk keperluannya. Mbah Bardan juga mengajak saya ke sungai jika sungainya kering, mengambil sedikit tanah di sungai untuk menambah gundukan tanah di pekarangan sebelah rumah.

Mbah Sampi berjualan gorengan, sore hari baru pulang. Terkadang saya menunggu mbah Sampi di depan rumah dengan harapan mbah Sampi memberi sedikit uang atau memberi saya permen dan roti.

Mbah Bardan dan mbah Sampi adalah orang-orang pekerja keras dan tak pantang menyerah. Saya sangat bangga pada Mbah saya karena mereka berhasil mendidik putra-putrinya menjadi orang-orang yang tak mudah menyerah dalam hidup.

Bapak saya adalah anak ke-4. Bapak pintar dalam segala hal. Bapak juga pintar menjahit. Selain menjahit pakaian orderan, sebagian pakaian yang dijual di toko orangtua saya adalah hasil jahitan bapak saya. Karena dirasa pekerjaan menjahit lebih menjanjikan, bapak menjadi sering di rumah untuk menjahit. Perlengkapan bapak dalam menjahit lumayan lengkap. Kalau ada mesin jahit yang rusak, bapak menservisnya sendiri.

Bapak mengajari saya banyak hal. Bapak sering memberi motivasi pada saya. Motivasi tentang keberanian, saling menghargai, kasih sayang, kesabaran, dan motivasi menggapai cita-cita, serta motivasi yang lainnya.

Meski bapak tahu kalau saya suka mencoret-coret tembok kamar, dan mencoret-coret buku-buku penting miliknya, bapak tetap saja bertanya apa cita-cita saya. Dengan polosnya saya menjawab, “Pingin jadi ibu hakim." Sepertinya itu konyol. Apa hubungannya suka mencoret-coret dengan cita-cita menjadi seorang ibu hakim. Bapak hanya tersenyum. Bapak hanya berkata, “Kalau begitu yang pintar ya. Tidak boleh nakal. Kalau mau menulis juga harus pada tempatnya.”

Seiring dengan waktu, ketika saya menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI), saya memiliki guru favorit, namanya Ibu Umi Hamidah. Saya ingin menjadi seperti dia, menjadi seorang guru IPA sekaligus guru Matematika. Setelah lulus MI, saya melanjutkan ke SMP Negeri, saat itulah cita-cita saya sedikit berubah, saya ingin menjadi seorang guru Bahasa Indonesia, lagi-lagi hanya karena guru favorit saya yang bernama Ibu Farida. Melanjutkan ke SMA Negeri 3 Jombang, cita-cita itu berubah lagi, saya ingin menjadi seorang penulis, hanya karena sahabat saya yang bernama Desy Putri Purnaimami Subagjo. Naik ke kelas XII SMA, saya pindah ke SMA Negeri Ploso. Cita-cita saya tidak berubah, tapi malah bertambah. Dan sampai sekarang, cita-cita itu tidak berubah. Saya ingin menjadi seorang Penulis dan Intrepeneur, hanya karena bapak saya.

Saya harus terus belajar, belajar apa saja. Belajar ilmu yang bermanfaat. Bapak pernah berkata, “Dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali kamu berbohong pada orangtuamu dan guru-gurumu. Karena sekali kamu berbohong pada mereka, bapak yakin, ilmu yang kamu pelajari selama ini tidak akan bermanfaat di dunia maupun di akhirat kelak."

Saya suka semangat bapak yang tiada pernah henti. Meskipun bapak hanya seorang lulusan SD, tapi cara berpikir bapak sangat luar biasa meskipun bapak hanya orang biasa. Bapak tak pernah berhenti untuk belajar. Banyak yang bapak dapatkan dari otodidak.

Emak saya, SD saja tidak lulus, berhenti di kelas 4 gara-gara keadaan orang tua yang tidak mampu membiayai. Semasa kecil, emak sering memulung ketela yang dibuang di depan rumahnya. Itu dilakukannya hanya untuk bisa makan di hari ketika tak ada sesuatu yang bisa dimakan. Emak adalah salah satu dari sekian istri sholehah yang ada di dunia ini. Emak saya rajin ibadah. Emaklah yang mengajari saya membaca Al-Qur’an. Dan juga emaklah yang super cerewet ketika saya malas sholat fardhu 5 waktu.

Saya ingin seperti emak saya, menjadi istri sholelah, yang bisa menemani anak-anaknya mempelajari ilmu agama.

Saya ingin seperti emak saya, yang tak pernah berhenti semangat bekerja membantu bapak saya.

Saya ingin seperti emak saya, yang tegar bekerja sendirian ketika bapak telah tiada.

Saya ingin seperti emak saya, yang dalam hembusan nafasnya selalu mendoakan suami dan anak-anaknya agar selamat dalam segala tingkah laku.

Ya, mereka orangtua saya. Orang-orang yang menjadi motivasi dalam hidup saya. Orang-orang luar biasa. Tak henti-hentinya doa ini tertuju pada mereka yang selalu mencintai saya meski saya sering menyakitinya.

“Bapak, emak. Terimakasih atas segalanya. ”

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
(Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.)


13.34 Wita
Denpasar, 17 Mei 2011
Niswa Djupri