Nenek Berkebaya Robek di Atas Aspal Jalanan Kota Banyuwangi - Niswa Djupri

Breaking

Jumat, 01 Januari 2010

Nenek Berkebaya Robek di Atas Aspal Jalanan Kota Banyuwangi

Dia berdiri di atas aspal jalanan kota Banyuwangi. Tanpa alas, tanpa penutup kepala. Menengadahkan tangan dengan mata berkaca. Tubuhnya lusuh, keriput, kisut. Tumitnya pun pecah-pecah termakan ganasnya aspal. Senyuman di bibir keriput khas nenek, meski mata terlihat nanar. Dia menunduk sambil melihat bagian dadanya terbuka. Aku pun bertanya, “Nenek, kebayamu sudah robek, boleh aku tambal sedikit saja?”

Namun nenek tetap saja diam, sambil mencoba menutupi dadanya yang kelihatan berBH agak longgar.

Sementara di ujung jalan sana ada sesosok pria dengan membawa gitar dan bungkus permen, mungkin itu berisi uang recehan hasil dia mengamen. Pria itu juga terus mengamati sang nenek. Mungkin perasaannya juga sama seperti perasaanku yang merasa kasian terhadapnya.

“Nek, boleh aku hanya memberimu sebungkus makanan?”
Nenek menggeleng.

“Tidak apa-apa, Nek. Saya beli makan dulu sebentar untuk Nenek bawa pulang ya.”

Aku berlari menuju warung yang hanya berjarak 10 meter.

“Tidak perlu. Nenek tidak mau menerimanya.!!” Nenek berteriak sekeras-kerasnya. Namun aku tak menghiraukannya.

Tak lama kemudian aku keluar dari warung, dan berjalan menuju nenek berkebaya robek itu.

Banyak orang berkerumun mengitari nenek. Aku segera berlari.

“Kenapa, Nek?”

Nenek terdiam.

Aku mulai sibuk bertanya dengan orang-orang.

“Nenek ini kenapa?”

“Hmmm.. Nenek ini habis dirampok, Dek.”

“Haaaaah.. Kok bisa? Bagaimana ceritanya, Pak?”

“Waktu Adek pergi ke sana tadi, ada pengamen yang ada di ujung jalan sana menghampiri nenek ini. Bapak mengira pengamen itu mau memberi uang ke nenek ini, ternyata malah ambil semua uang nenek ini,” jelasnya sambil tersengal-sengal.

“Pantas saja dari tadi orang itu memperhatikan nenek ini. Trus, kok semuanya diam?”

“Iya, semua tidak ada yang berani dengan dia.”

Aku menoleh ke nenek berkebaya robek itu. Nenek hanya tertunduk.

Aku duduk di sampingnya.

“Nek, yang sabar ya. Ini makanan untuk Nenek. Nenek makan ya.!”

Nenek menggeleng.

“Kenapa? Nenek tidak mau?”

“Nenek tadi kan sudah bilang, nenek tidak mau makanan, karena percuma saja.”

“Kok percuma?”

“Iya, nenek puasa,” jawabnya. Sambil aku memperhatikan wajahnya yang pucat.

Lagi-lagi, mataku selalu ingin keluar airmata karena melihat hal-hal seperti ini.

Subhanallah. Nenek luar biasa.”

Airmataku terjatuh. Dan segera aku mengusapnya.

“Nenek ini tidak butuh makan. Nenek cuma butuh uang untuk biaya beli buku pelajaran cucu nenek yang sekarang masih SMP. Nenek tidak mau satu-satunya cucu nenek tidak belajar hanya karena tidak punya buku.” Nenek mengusap airmatanya. “Percuma juga makanan ini nenek bawa pulang. Di rumah pun tidak ada yang makan.”
“Kan bisa dimakan cucu Nenek.”

“Cucu nenek tidak mau pulang sebelum bisa punya buku. Dia rela tidur di emperan toko sebagai anak jalanan yang cari uang hanya demi buku. Nenek di sini hanya ingin membantunya agar dia bisa segera membeli buku yang dia butuhkan.”

“Yang sabar ya, Nek.”

Aku mendekapnya.

“Nek, suatu saat nanti, aku yakin, cucu Nenek akan menjadi orang sukses. Semangat belajarnya tinggi. Benar-benar luar biasa.”
Kemudian Nenek tersenyum. Dan aku melepas dekapanku.

“Nek, aku pamit ya. Nenek hati-hati. Maafkan aku ya, Nek.”

Aku mencium tangannya, dan segera berlalu pergi. Nenek tidak tau aku menyelipkan sebagian uang yang aku punya di belahan dadanya yang sedikit terbuka sewaktu aku mendekapnya.


Banyuwangi, 1 Januari 2010
Niswa Ma'rifah Djupri