Memahami Habibie: Kekuatan Anak Intuiting Ekstrovert - Niswa Djupri

Breaking

Selasa, 07 Oktober 2025

Memahami Habibie: Kekuatan Anak Intuiting Ekstrovert

Niswa Djupri - Memahami Habibie: Kekuatan Anak Intuiting Ekstrovert






Niswa Djupri
(Niswatul Ma'rifah, S.Kom., CHt)




Menjadi orang tua mengajariku satu hal penting: memahami anak jauh lebih bermakna daripada sekadar mendidik. Setiap anak lahir dengan keunikan genetik yang membentuk cara berpikir, berperasaan, dan melihat dunia. Anak pertamaku, Habibie, adalah contohnya. Ia membuatku belajar ulang tentang sabar, empati, dan cara memahami manusia—bahkan sejak usia 6 tahun.


Habibie termasuk tipe intuiting ekstrovert, dominan otak kanan atas. Ia penuh ide, imajinatif, mudah terinspirasi, dan energinya seolah tak pernah habis. Dulu aku sering kewalahan, mengira ia sulit diatur. Tapi ternyata, yang tampak seperti “keusilan” itu adalah caranya memahami dunia—versinya sendiri yang penuh warna dan imajinasi.


Dengan latar belakang pendidikanku di bidang teknologi dan hipnoterapi, aku terbiasa berpikir sistematis sekaligus memahami pola bawah sadar manusia. Dari sanalah aku mulai melihat bahwa perilaku anak bukan sekadar hasil pengasuhan, tapi juga hasil kerja otak dan kepribadian genetik yang dibawanya sejak lahir. Maka, mendidik anak tanpa memahami “mesin otaknya” ibarat mencoba menyalakan komputer tanpa tahu sistem operasinya.


Pencarian itu membawaku mengenal konsep kecerdasan genetik. Ada dua pendekatan populer: DMIT (Dermatoglyphic Multiple Intelligence Test) dan STIFIn. DMIT berasal dari teori Multiple Intelligences Howard Gardner, berfokus pada delapan jenis kecerdasan manusia seperti logika, linguistik, dan interpersonal.


Sedangkan STIFIn, yang akhirnya kupilih, dikembangkan oleh Farid Poniman di Indonesia. Pendekatan ini berangkat dari dominasi fungsi otak dan sifat dasar manusia. STIFIn mengelompokkan tipe kecerdasan genetik menjadi lima mesin utama—Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Insting—masing-masing dengan dua orientasi: introvert atau ekstrovert.


Lewat tes STIFIn, aku akhirnya tahu bahwa Habibie memiliki mesin kecerdasan Intuiting Ekstrovert (InE). Ia berpikir spontan, cepat menangkap ide besar, dan mudah terhubung dengan hal-hal baru. Tugas utamaku bukan mengekang energinya, tapi menyalurkan imajinasinya menjadi kreativitas dan rasa percaya diri yang sehat.


Sejak memahami itu, caraku memandang Habibie berubah. Aku tidak lagi fokus pada “mengendalikan” perilakunya, tapi pada “menemani” cara berpikirnya. Aku berhenti memadamkan usilnya, dan mulai menyalakan rasa ingin tahunya dengan arah yang tepat.


Kini aku benar-benar percaya: memahami otak dan karakter anak bukan sekadar teori parenting. Ini adalah bentuk cinta yang lahir dari kesadaran. Karena dengan mengenal cara kerja otak anak, kita tidak lagi memaksanya menjadi “anak yang ideal,” tapi menuntunnya tumbuh menjadi dirinya yang terbaik.


Dan bagiku, perjalanan memahami Habibie lewat STIFIn bukan hanya pengalaman sebagai ibu—tapi juga sebagai seorang hipnoterapis yang belajar bahwa setiap anak adalah jiwa unik yang hanya butuh satu hal untuk tumbuh: dipahami dengan cinta.