“Kenapa Aku Gampang Mencintai Anak Pertama, Tapi Butuh Waktu untuk yang Kedua?” Jawabannya Mungkin Bikin Kamu Merinding… - Niswa Djupri

Breaking

Minggu, 20 April 2025

“Kenapa Aku Gampang Mencintai Anak Pertama, Tapi Butuh Waktu untuk yang Kedua?” Jawabannya Mungkin Bikin Kamu Merinding…

“Kenapa Aku Gampang Mencintai Anak Pertama, Tapi Butuh Waktu untuk yang Kedua?” Jawabannya Mungkin Bikin Kamu Merinding… Niswa Djupri - Artikel Parenting






Niswa Djupri
(Niswatul Ma'rifah, S.Kom., CHt)



Pernah nggak sih kamu merasa, cinta yang begitu besar untuk anak pertama… nggak otomatis muncul lagi ketika anak kedua lahir? Lalu muncul rasa bersalah, takut dianggap pilih kasih, bahkan takut dicap sebagai orang tua yang gagal? Kalau iya, kamu nggak sendirian. Banyak orang tua juga diam-diam merasakan hal yang sama. Dan ini… nyata adanya.

Anak pertama hadir di tengah kita sebagai "yang pertama dari segalanya." Pertama kali menanti garis dua, pertama kali belajar memandikan bayi, pertama kali panik tengah malam saat demam. Semua momen pertama itu menciptakan ikatan emosional yang sangat dalam dan sulit tergantikan. Wajar kalau kita merasa sangat terhubung dengannya.

Namun ketika anak kedua lahir, kita sering kali berharap akan mengalami hal yang sama—tapi ternyata berbeda. Mungkin karena kita sedang dalam kondisi lelah, kewalahan, atau bahkan masih dalam proses menyembuhkan diri sendiri dari pengalaman sebelumnya. Tapi masyarakat kadang tak memahami ini. Mereka hanya melihat: “Kok bisa sih, anak sendiri kok gak disayang sama rata?”

Komentar seperti itu bisa melukai. Padahal, yang sedang terjadi bukanlah ketidakadilan. Melainkan proses mencintai yang berbeda waktunya. Cinta bukan selalu datang dalam sekejap. Ada cinta yang hadir sejak detik pertama. Tapi ada juga cinta yang perlu waktu tumbuh, menyatu, lalu mengakar.

Sebagian orang tua merasa tidak cukup "klik" dengan anak kedua di awal. Bukan karena benci. Tapi karena masih dalam proses adaptasi. Tubuh dan jiwa sedang berusaha membagi perhatian, membagi energi, membagi waktu—dan kadang cinta terasa ikut terbagi. Padahal tidak. Cinta itu tidak terbagi. Ia berkembang.

Lalu muncul perasaan bersalah. Apalagi kalau kita melihat anak kedua dengan wajah polosnya, lalu merasa: “Aku belum mencintainya seperti aku mencintai kakaknya.” Rasa itu menyakitkan, tapi sangat manusiawi. Dan kamu tidak perlu malu mengakuinya.

Yang terpenting adalah: kita menyadari, kita mau belajar, dan kita memberi ruang bagi cinta itu tumbuh. Cinta bukan selalu tentang gemuruh. Terkadang, cinta hadir dalam pelukan pelan, tatapan mata yang tulus, dan bisikan lembut sebelum tidur, “Mama sayang kamu.”

Orang tua yang baik bukan yang mencintai semua anaknya sama rata sejak hari pertama. Tapi orang tua yang mau berproses, membangun cinta itu dengan sadar dan sabar. Yang mau hadir, meski hatinya masih berjuang menyatu.

Jadi… kalau hari ini kamu masih merasa cinta itu belum sekuat untuk anak kedua, pelan-pelan saja. Tak perlu terburu-buru. Yang penting, kamu tetap di sana, tetap belajar mengenal, tetap memeluk. Karena pada akhirnya, cinta akan menemukan jalannya sendiri—dan kamu akan terkejut betapa besar hatimu bisa mencinta dua jiwa sekaligus.